2

Pendidikan Sebagai Judul

Terima kasihku… Ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna… selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku... dibimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan kuingat selalu... nasihat guruku
Terima kasih, Ku ucapkan.......

Satu lagu yang berirama merdu terlampir, ketika salah satu moment yang pas untuk lagu ini, tanggal 25 November, dimana satu hari bukan hari libur nasional tetapi ditujukan sebagai salah satu penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 dan diperingati setiap tahun: Hari Guru Nasional.

Bermula pada tahun 1912 dengan adanya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), semangat para guru yang tidak ingin terus menerus ada dibawah nama Belanda terus berkembang. Di tahun 1932 organisasi yang terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah ini berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia. Sampai pada akhirnya, dalam Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan. Melalui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Tepat 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan.

Terinspirasi dari salah satu hari penting itulah, saya dan Komunitas Aleut menyusuri jalur “pendidikan” lama di Bandung. Ternyata fungsi dari gedung-gedung yang dipakai zaman dahulu masih berlaku sampai sekarang.


Seperti pada titik pertama kami sampai, yaitu di Santa Alloysius, setelah berjalan dari tempat pertama berkumpul di Jalan Sultan Agung (Depan Patung PDAM alias Beasty Boys #halah #abaikan). Gedung yang dibangun tahun 1930 sampai 1932 ini dahulunya didirikan sebagai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu Pendidikan Dasar Lebih Luas, atau setara SMP.Namun pada masa pendudukan jepang tahun 1942-1945 Ken Petai menggunakan gedung tersebut untuk menawan musuhnya, orang-orang Belanda.

Jalan Merdeka mulai kehilangan payungnya, sehingga pori-pori kulit Aleutians mulai terisi partikel cahaya pancaran dari Sang Raja siang yang mulai menguap. Namun tak lama kemudian kami sampai di Santa Angela, yang didirikan Ordo Ursulinen. Dahulunya sekolah ini sebagai HBS (Hogere Burger School) atau Sekolah Menengah Atas Tertinggi (Lanjutan Sekolah Tingkat Menengah) yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang elit yang pintar. Pribumi boleh menuntut ilmu di sini asal mencakup dua alasan wajib tersebut. Terdapat sistem DO dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Belanda untuk semua materi yang diajarkan. Jika dahulu ada seorang yang ingin melanjutkan pendidikan dari MULO ke AWS (Algeme(e)ne Middlebare School), ia tidak perlu melakukannya jika telah mendaftar ke HBS, karena masa belajar di sini 5 tahun (Setara dari SMP + SMA).


klik gambar untuk tampilan yang lebih besar

Komplek pendidikan Hindia Belanda ternyata masih di daerah Jalan Merdeka mengelilingi yang sekarang ini kita kenal dengan nama Balai Kota. Namun pada akhirnya, setelah masa politik etis yang digunakan Belanda, pemerintah pun mulai berfikir untuk membuat sekolah untuk para pribumi seperti Kweek School (1834), dengan mencetak guru-guru sendiri. Anak pribumi pun dididik untuk menjadi pendidik (Sekarang menjadi SD Banjarsari dan Kantor Polisi).

Sistem pendidikan pada saat itu sudah memiliki penjurusan pada tingkat SMA (kalau zaman sekarang seperti SMK). Mulai dari penjurusan Bahasa dan Budaya serta Ilmu Alam. Sehingga konsentrasi ilmu yang digunakan pun jelas. Dan tidak sembarang sekolah yang bisa menjadikan seseorang menjadi guru, karena harus mengikuti prosedur pengajar yang dicetak dari sekolah khusus pengajar. Setelah kemerdekaan, sistem penjurusan pun masih dipakai pemerintah dan muncullah sistem Universitas di Indonesia.

Setelah mengetahui informasi dari komplek pendidikan di seputaran Balai Kota (Sekolah Ekonomi, Sekolah Jasmani (Guru Olahraga) serta sekolah cikal bakal UNPAR), Aleutians yang tak menggunakan sun block pun kembali bergerak dibawah sinar sang surya dengan semangat yang belum pudar. Menembus Jalan Sumatra lewat Jalan Tera yang ada sehabis portal kereta di Jalan Braga. Dan kami pun sempat menemukan fenomena Kereta jurusan Cicalengka-Padalarang yang “ngetem” di salah satu jalur. Alhasil sesi foto gratis dan langka pun digelar seketika.




Perjalanan menuju target berikutnya pun berakhir, kami telah sampai di Wisma Van Deventer yang tetap menjadi sekolah khusus putri, dengan nama lembaga pendidikan Wanita International Putri University alias Universitas Wanita Internasional. Sedikit diskusi ngalor ngidul dan kaki para Aleutians pun harus kembali menjejak jalanan beraspal untuk menuju MULO yang didirikan pemerintah Kota Bandung pada tahun 1917, yang sekarang menjadi SMP Negeri 5 Bandung.

“Nongkrong” di pinggir got di bawah pohon Kersen pun tak masalah, karena rindangnya cukup mengobati dahaga yang mulai menjalar di tenggorokan kami setelah dari Jalan Van Deventer – Jalan Jawa – dan kembali ke Jalan Sumatra. SMPN 5 Bandung ini pun pernah dirampas oleh Jepang dan dijadikan markas oleh Ken Petai sebagai tempat untuk menawan dan menyiksa.

Kesabaran telah mengetuk-ngetuk takut meluap, maka dengan segera kami melanjutkan kembali perjalanan ke titik terakhir perjalanan “Ngaleut Jalur Pendidikan” ini, yaitu SMAN 3 dan 5 Bandung. Bangunan yang dirancang oleh Schoemaker ini dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda tahun 1916 sebagai Hoogere Burger School (HBS) yang setaraf dengan SMA, sekolah untuk anak-anak Belanda golongan menengah. Ken Petai pun menggunakan gedung ini di tahun 1941-1945 untuk keperluan mereka menawan dan menyiksa lawan.


Foto keluarga Komunitas Aleut di SMAN 3 dan 5. Sedikitnya Aleutians yang ikut tidak mengurangi rasa semangat untuk berfoto tentunya :)


Aku turun ke sini, membasahi, menemani
Merebak aroma sendu yang berujar syahdu
Menenangkan hati namun mencegat sedikit niat untuk pergi
Sabarkan hati, tak lama lagi aku kan pergi…
(Kutipan dari perkataan Sang Hujan, tadi dia berbisik ditelingaku)



Sayangnya, ketika kami akan pulang ternyata hujan yang cukup deras pun datang. Aleutians menunggu reda dengan mengisi perut dan sedikit berkelakar di tengah hari sampai akhirnya kami pun beranjak untuk pulang.

Pertanyaan: Sebutkan beberapa tempat yang pernah dijadikan markas oleh Ken Petai!
Silakan ambil hadiah di Jalan Buah Batu Dalam V untuk jawaban yang benar :D

referensi : dari sini

foto: dari mba kuke, dan mungkin akan menyusul (menunggu update lagi dari Mba Kuke, Teh Yanstri, Teh Karis, Bey dan tentunya BR!)

2 lost people:

Anonim mengatakan...

terima kasih sebelumnya. informasiny berguna banget. kalau boleh disertakan dengan peta y. saya bukan orang bandung jadi masih "poek" nama jalan & daerah di bandung. semangat trus. d tgu info selanjutnya. sukses & lancar buat anda.

Unknown mengatakan...

iya sama-sama. mungkin lain kali disertakan peta. tapi peta bisa diliat di google map ko :D
makasih. :)

Back to Top