3

Ketika Keberuntungan Dipertanyakan



Saya ingat betapa Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran yang sulit saya kuasai, karena sampai akhir masa belajar kelas tiga SMA pun saya belum pernah mendapatan nilai sempurna untuk mata pelajaran ini dalam setiap ujian. Pasti hasilnya dibawah pelajaran lain, termasuk matematika dan Bahasa Inggris. Cukup aneh, memang. Padahal saya pakai Bahasa Indonesia hampir setiap hari dan saya cukup menyukai peribahasa yang mengandung idiom-idiom di dalamnya. Cukup untuk menimbulkan multi interpretation apalagi jika peribahasa-peribahasa itu secara tak disadari ternyata pernah kita alami. Pernahkah kamu merasakan salah satu peribahasa terjadi kepadamu?

Saya pernah. Mulai dari kemarin dan belum berakhir sampai sekarang. Selama belum 2 x 24 jam belum wajib lapor satpam, kan? Eh.

Beberapa peribahasa yang kemarin saya share di twitter ternyata direspon juga oleh beberapa teman dan mereka ikut membagi peribahasa yang mereka sedang alami. And here , they are...

  • Untung bagaikan roda pedati,sekali ke bawah sekali ke atas = Keberuntungan atau nasib manusia tiada tetap, kadang di bawah dan kadang di atas
  • Luka sudah hilang parut tinggal juga = setiap perselisihan selalu meninggalkan bekas dalam hati orang yang berselisih, walaupun perselisihan itu sudah berakhir
  • Menanti-nanti bagaikan bersuamikan raja = Menantikan bantuan dari orang yang tidak dapat memberikan bantuan
  • Terlalu aru berpelanting, kurang aru berpelanting = Segala sesuatu yang berlebihan atau kurang akan berakibat kurang baik
  • Bagaikan api makan ilalang kering, tiada dapat dipadamkan lagi = Orang yang tidak mampu menolak bahaya yang menimpanya
  • Ditindih yang berat, dililit yang panjang = Kemalangan yang datang tanpa bisa dihindari.
  • Tolak tangan berayun kaki, peluk tubuh mengajar diri = Belajar untuk mengendalikan diri dan meninggalkan kebiasaan bersenang-senang
  • Bagaikan abu di atas tanggul = Orang yang sedang berada pada kedudukan yang sulit dan mudah jatuh
  • Seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul = Seberat apapun penderitaan orang yang melihat, masih lebih menderita orang yang mengalaminya

Semacam kemalangan ya ternyata peribahasa yang saya alami? Ya.. cukup lah untuk mengernyitkan dahi dan menahan tanggul perasaan yang tak mampu diluapkan. Sampai-sampai saya juga merasa keberuntungan itu tidak ada. Jikalau ada, mungkin dia sedang tidak berpihak. Tapi entah mengapa saya lebih cenderung memilih praduga yang pertama. Ah, dasar manusia. Ketika mengalami kesedihan pasti terkadang suka berpikir berlebihan. Seperti saya sekarang ini.

whispering to my own ear: "It's not your lucky day.. if lucky does exist."

Kebetulan sewaktu saya membaca "buku pintar", saya menemukan beberapa istilah dari bahasa latin yang kemudian saya mix dengan keadaan saya.. Oke, pikiran orang lain bercampur dengan pikiran sendiri.



But if feel the sadness n still want to cry, let it goes. Because your chance to do it Nunc Aut nunquam: now or never --> Sekarang saja atau tidak sama sekali
Stop your crying and think that everything alright. Nec Beneficii Immemor Injuziae: Lupakan kepedihan, jangan lupakan kebaikan ( Kebaikan orang lain, bukan kebaikan diri sendiri )
If you feel so desperate, remember that "Nemo Sine cruce beatus": tak ada kebahagiaan tanpa rintangan.
Semoga Ira furor brevis est benar adanya. : kemarahan itu adalah suatu amukan yang sementara saja
Incidit in Scyllam qui vult vitare Charybdum: dari gerimis ke dalam hujan, dari tepian masuk selokan; sudah jatuh tertimpa tangga pula
In silentio et spe fortitudo mea: dalam keheningan dan harapan akan muncul kekuatan.


Mungkin tak ada kata yang mampu menggambarkannya: Ketika hati tak mampu berkoordinasi dengan pikiran dan kenyataan, dan ketika segala sesuatu terasa menghantam mukamu secara tiba-tiba. Sesuatu itu datang bersamaan dengan teman-temannya. Seperti hujan deras yang turun secara tiba-tiba tatkala kita sedang berjemur di pinggir pantai, cukup menyiksa bukan? :)

Entah siksaan atau cobaan, yang pasti saat ini saya sedang diberikan "anugerah kenikmatan" sebagai wanita. Mau tak mau harus diterima, karena tamu yang satu ini tak mampu ditolak oleh wanita manapun. Belum lagi hormon yang berpengaruh terhadap segala sesuatu. Saya berani menjamin banyak wanita yang pernah merasakan "sakitnya" saat tamu ini datang.

Meskipun diantara mereka ada beberapa (sebagian sangat kecil) yang beruntung tidak merasakan pengaruhnya.

Oh, sungguh beruntung.

Dan cukup beruntung pula jika kita yang pernah mengalami pengaruh itu dapat dimengerti oleh orang lain yang ada di sekitar kita. "Kalau kami mampu menolak pengaruh itu, dengan senang hati akan kami lakukan dengan penuh senyuman..." sayangnya saya tidak :(

Mata yang sembab, perut yang sakit, melilit dan belum terisi makanan hari ini, badan yang terasa dihantam preman pasar---semua terasa ada lebam diseluruh bagian, dan perasaan yang belum berada sejajar dengan garis horison menjadi pelengkap di hari ini. Sungguh malang. Terasa sebentar lagi akan pingsan, rupanya.


***

Oh ya, saya ingin memberikan perumpamaan.

Kalau ada orang yang tertabrak dan orang yang menabrak hanya berkata "Maaf" : apakah itu cukup? (di luar seberapa parah akibat dia tertabrak)

Mungkin bukan seberapa banyak kata maaf yang diucapkan untuk si korban, tetapi seberapa care orang yang menabrak itu untuk mengetahui keadaan si korban. Bukan begitu bukan? Begitu.... :)

***

P.S. : Jangan mengira-ngira sesuatu sampai kamu sendiri mengetahui sesuatu itu dari sumbernya.



3

Pria dan Popok


Keponakan bisa jadi teman bermain yang mengagumkan, penuh daya imajinasi dan menyenangkan. Tapi kalau harus disuruh milih ngepel rumah dan mengganti popok, saya lebih memilih yang pertama. Masalahnya, keponakan yang umurnya udah lumayan "dalam masa aktif" ini susah sekali untuk diminta diam saat kita mengganti popok mereka, bisa-bisa dia buang air lagi dan membuat kacau kemana-mana :D *masih belum berpengalaman*

Tapi sekarang ini saya tidak akan menceritakan keponakan dan popok. Tetapi ada suatu proverb yang berkaitan dengan "mengganti popok" :D

"You can't change a man. Unless he's in diapers." -Mary Bennett
Saya tidak tahu kalau kenyatan pria tidak bisa berubah, atau bisa berubah. Tetapi quotes ini bisa menimbulkan dua sisi yang berbeda dalam pikiran saya.

Pertama.

Saya tidak setuju ketika pria ternyata memang tidak bisa berubah. Mungkin benar, jika kita tidak bisa "merubah" mereka karena mereka memiliki jalan pikirannya sendiri dan semacam "terlalu egois" jika kita ingin memaksa merubah mereka. Tetapi, jika perubahan itu memang diperlukan dan pria tersebut tidak memiliki kesadaran untuk merubahnya sendiri??? Apakah harus kita menunggu dia sadar sendiri??? Lalu apa fungsi orang-orang sekitarnya??? Menurut saya, hal-hal yang kita bisa beritahukan sebagai faktor untuk dilakukannya perubahan itu bisa menjadi salah satu perhatian yang bisa kita berikan kepada pria. Jadi, ketika pria tidak sadar apakah mereka harus berubah atau tidak, di sanalah peran kita diperlukan. Tapi kalau prianya tidak pernah sadar untuk berubah, naas ya (-__-")

Kedua.

Pendapat yang berlawanan dengan yang sebelumnya, saya setuju kalau ternyata kita tidak bisa merubah pria. Seberapa besar pun usaha kita untuk merubahnya jika mereka tidak mau dan tidak berniat berubah, usaha kita akan sia-sia. Ya, kita perlu membantu menyadarkan pria, tetapi pria juga perlu membantu dirinya sendiri untuk berubah.

Perlunya berubah yang saya maksud di sini, adalah berubah untuk lebih baik lagi. Jika memang diperlukan untuk berubah, berubahlah. Jika sudah baik, berubahlah lagi untuk lebih baik lagi. Untuk apa jika kita ingin berubah ke arah yang lebih buruk? Itu sama saja kita lebih bodoh daripada keledai.

Selain pria, tentunya wanita pun harus bisa melakukan apa yang dituntutnya. Ya, sayangnya pria tidak lebih mau untuk membantu menyadarkan wanita ketika wanita itu tidar sadar apa yang harus dirubahnya.


Back to Top